Sabtu, 03 November 2012

Asal Mula Putri Duyung




Di sebuah kampung di daerah Sulawesi Tengah, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri bersama tiga orang anaknya. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Sang Ayah menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di ladang dan mencari ikan di laut. Setiap pagi, sebelum berangkat ke ladang, sang Ayah selalu sarapan bersama istri dan ketiga orang anaknya.
Pada suatu pagi, sepasang suami-istri bersama ketiga orang anaknya sedang sarapan bersama dengan lauk ikan. Saat itu persediaan lauk ikan cukup banyak, sehingga mereka tidak mampu menghabiskan semua. Usai sarapan, sang Ayah pun bersiap-siap berangkat ke kebun. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada istrinya.
“Istriku! Tolong simpan sisa ikannya untuk lauk makan siang nanti!”
“Baik, Bang,” jawab istrinya singkat.
Setelah itu, berangkatlah sang Ayah ke Ladang. Istrinya pun segera menyimpan sisa ikan itu di dalam lemari makan. Menjelang siang hari, anaknya yang bungsu tiba-tiba menangis minta makan. Ia sangat kelaparan setelah setengah harian bermain dengan kakak-kakaknya. Sang Ibu pun segera memberinya sepiring nasi dan beberapa cuil daging ikan dari dalam lemari. Si Bungsu makan dengan lahap sekali. Dalam beberapa menit saja, lauk ikan yang diberikan oleh ibunya langsung ia habiskan. Si Bungsu pun minta tambah lauk kepada ibunya.
“Ibu… aku ingin tambah lauk ikan lagi,” pinta si Bungsu sambil menangis merengek-rengek.
“Tapi sedikit saja ya, Anakku! Sisakan juga untuk makan siang Ayahmu nanti,” bujuk sang Ibu.
Bujukan sang Ibu tidak membuat si Bungsu berhenti menangis. Bahkan, si Bungsu menangis semakin menjadi-jadi sambil berguling-guling di tanah. Sang Ibu tidak sampai hati melihat anaknya menangis. Ia pun memberikan semua sisa ikan itu kepada si Bungsu. Setelah itu, barulah si Bungsu berhenti menangis.
Menjelang siang hari, sang Ayah pulang dari ladang. Ia sangat lapar dan meminta istrinya untuk segera menghidangkan makanan untuknya. Dengan perasaan cemas, istrinya pun segera menghidangkan makanan. Setelah hidangan tersedia, sang Ayah melihat hidangan itu tidak lengkap.
“Bu, mana sisa ikan tadi pagi? Kenapa tidak kamu hidangkan?” tanya sang Ayah.
“Maaf, Bang! Tadi si Bungsu menangis minta makan dengan lauk ikan,” jawab istrinya.
“Kenapa kamu berikan semua kepadanya?” tanya sang Ayah dengan nada marah.
“Maaf, Bang! Tadi aku hanya memberinya beberapa cuil daging ikan, tapi si Bungsu terus menangis merengek-rengek dan berguling-guling di tanah meminta ikan. Aku tidak tega melihatnya, Bang! Makanya aku berikan semua sisa ikan itu kepadanya,” jawab istrinya.
Mendengar jawaban itu, sang Ayah semakin marah dan tidak mau menerima alasan apapun dari istrinya.
“Aku tidak mau tahu. Aku sudah berpesan kepadamu agar menyimpan sisa ikan itu untuk makan siang!” bentak sang Ayah.
Sang Istri tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menangis dan meminta maaf kepada suaminya karena merasa bersalah. Berkali-kali ia meminta maaf kepada suaminya, namun sang Suami tetap tidak berhenti marah, bahkan kemarahannya semakin menjadi-jadi. Sang istri yang tidak tahan dimarahi terus meneteskan air mata.
“Aku tak sanggup lagi tinggal di rumah ini. Suamiku benar-benar tidak mau memaafkan aku lagi,” keluh sang Istri dalam hati.
Akhirnya, sang Istri pun memutuskan pergi. Pada saat tengah malam, ketika suami dan anak-anaknya sedang tertidur pulas, secara diam-diam ia meninggalkan rumah dan pergi ke laut.
Pada pagi harinya, sang Ayah dan ketiga anaknya bangun tidur. Seperti biasanya, setiap pagi mereka berkumpul untuk sarapan bersama. Betapa terkejutnya sang Ayah, karena hidangan untuk sarapan bersama belum tersedia. Dengan perasaan kesal, ia pun berteriak-teriak memanggil istrinya.
“Istriku… Istriku…! Kamu di mana?”
Berkali-kali sang Ayah berteriak memanggil istrinya, namun tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Sang Ayah bersama ketiga anaknya pun segera mencari sang Ibu di sekitar rumah. Mereka sudah mencari ke mana-mana, tetapi mereka tidak juga menemukannya.
“Ayah! Apa yang harus kita lakukan? Si Bungsu menangis tidak kuat lagi menahan lapar?” tanya si Sulung kepada ayahnya.
“Carilah ibu kalian di laut!” seru sang Ayah.
“Kenapa harus ke laut, Ayah?” tanya lagi si Sulung.
“Barangkali ibu kalian sedang mencari ikan di laut. Bukankah si Bungsu kemarin menangis minta ikan?” imbuh sang Ayah.
Mendengar perintah sang Ayah, si Sulung pun segera mengajak kedua orang adiknya pergi ke laut untuk mencari ibu mereka. Sesampainya di laut, mereka memanggil ibu mereka sambil bernyanyi:
Ibu pulanglah Ibu…
Ibu pulanglah Ibu…
Si Bungsu ingin menyusu
Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba ibu mereka muncul dari laut sambil membawa beberapa ekor ikan, lalu segera menyusui si Bungsu. Seusai menyusui, sang Ibu berpesan kepada anak-anaknya.
“Wahai, anak-anakku! Pulanglah ke rumah. Ayah kalian pasti sudah menungggu kalian.”
“Ayo Bu, kita pulang bersama-sama!” bujuk ketiga anak itu sambil menari-narik tangan sang Ibu.
“Kalian pulanglah duluan! Ibu akan menyusul kalian. Bawalah ikan ini untuk makan siang bersama Ayah kalian nanti. Ibu masih ingin mencari ikan lagi untuk kalian,” ujar sang Ibu.
Ketiga anak itu pun menuruti perintah sang Ibu. Mereka pulang sambil membawa ikan hasil tangkapan Ibu mereka. sesampainya di rumah, mereka segera melapor kepada sang Ayah.
“Ayah, Benar. Ternyata Ibu sedang berada di laut mencari ikan. Ini hasil tangkapannya,” kata si Sulung sambil menunjukkan ikan yang mereka bawa kepada sang Ayah.
“Ke mana Ibu kalian? Kenapa dia tidak pulang bersama kalian?” tanya sang Ayah.
“Ibu masih ingin mencari ikan yang lebih lagi, Ayah!” jawab ketiga anak itu serentak.
“Kalau begitu, segeralah panggang ikan itu untuk makan siang kita nanti!” seru sang Ayah.
Ketiga anak itu pun segera melaksanakan perintah sang Ayah. Tidak berapa kemudian, ikan-ikan tersebut selesai mereka pangggang. Namun, sang Ibu belum juga datang.
“Ayo kita makan dan habiskan ikan pangggang ini. Tidak usah menunggu Ibu kalian!” ajak sang Ayah.
“Tapi, kasihan Ibu, Ayah! Kalau ikan pangggang ini kita habiskan, nanti Ibu makan apa? Ibu pasti kelaparan sepulang dari laut nanti,” kata si Sulung.
“Diam kamu Sulung! Kamu tidak udah merasa kasihan kepada Ibumu. Bukankah dia juga tidak kasihan kepada Ayah, karena telah memberikan semua sisa ikan sarapan kemarin kepada si Bungsu,” bentak sang Ayah.
Mendengar bentakan itu, si Sulung dan kedua adiknya pun tidak berani membantah dan terpaksa mematuhi perintah sang Ayah. Dengan perasaan berat hati, ketiga anak itu pun terpaksa ikut menghabiskan ikan panggang itu bersama sang Ayah. Hingga mereka selesai makan siang, sang Ibu belum juga datang. Hati ketiga anak itu pun mulai cemas kalau-kalau terjadi sesuatu terhadap ibu mereka. Hati mereka semakin cemas saat hari menjelang sore, karena ibu mereka tidak juga kunjung pulang. Mereka pun tidak berani menyusul ibu mereka ke laut, karena hari sudah semakin gelap.
Keesokan harinya, barulah ketiga anak itu kembali ke laut menemui ibu mereka. Sesampainya di laut, mereka tidak melihat ibu mereka. Mereka pun memanggil sang Ibu sambil bernyanyi:
Ibu pulanglah Ibu…
Ibu pulanglah Ibu…
Si Bungsun ingin menyusu…
Setelah tiga kali mereka bernyanyi, barulah ibu mereka baru muncul dari laut. Betapa terkejutnya ketiga kakak beradik itu ketika melihat tubuh ibu mereka dipenuhi dengan sisik ikan. Mereka sangat ketakutan dan tidak percaya bahwa perempuan yang bersisik seperti ikan itu adalah ibu mereka. Si Bungsu pun enggan untuk menyusu kepadanya.
“Mendekatlah kemari, anak-anakku! Aku ini ibu kalian!” bujuk sang Ibu.
“Tidak! Ibu kami tidak bersisik seperti ikan,” jawab ketiga anak itu serentak.
Setelah berkata begitu, ketiga anak tersebut langsung pergi meninggalkan perempuan bersisik itu. Mereka menyusuri pantai tanpa arah dan tujuan yang jelas. Sementara sang Ibu yang telah menjelma menjadi ikan duyung kembali ke laut.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Ikan Duyung dari daerah Sulawesi Tengah,indonesia
sumber :wwwc.erita rakyat indonesia.com cerita rakyat indonesia 

ASAL MULA NAMA CANDI BOROBUDUR


Asal Mula Nama Borobudur

Sebenarnya seluruh penduduk Indonesia mengetahui candi Borobudur,  tetapi hanya sebagian orang yang mengetahui nama candi Borobudur, oleh karena itu mari kita usut mengenai candi Borobudur agar penduduk indonesia mengetahui nama candi Borobudur itu sendiri. Banyak sekali yang berusaha menjelaskan nama candi Borobudur, salah satunya menyatakan bahwa nama Borobudur ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya “gunung” (bhudara) di mana di lereng-lereng terletak teras-teras diatasnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah “tinggi”, atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti “di atas”. Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan.
Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M.
Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.
Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut  Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra.
Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa sansekerta yang berarti “Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa”, adalah nama asli Borobudur

Sabtu, 13 Oktober 2012

PELUANG BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA DUNIA

            Bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa internasional karena tidak asing lagi di telinga komunitas internasional, khususnya di negara-negara tetangga. Peluang bahasa Indonesia dinilai cukup besar apabila dibandingkan dengan berbagai bahasa di Eropa.
 
Berita yang ditelusuri Antara bulan lalu bertajuk Bahasa Indonesia Berpeluang Jadi Bahasa Kedua ASEAN, Sebagaimana dikutip dari berita tersebut, saat sekarang ada kesadaran di kalangan warga Pilipina, teristimewa di kawasan selatan negara ini, bahwa jika mereka bisa berbahasa Indonesia, maka bahasa itu akan bisa dimengerti dan digunakan di sedikitnya empat negara anggota ASEAN lainnya, yakni Brunei, Malaysia, Singapura dan Thailand (selatan). Selain di empat negara ASEAN itu, di Kamboja, Laos dan Vietnam sebagian warganya dari suku Champ juga bisa mengerti bahasa Melayu, yang berakar sama dengan bahasa Indonesia.

Dua kutipan berita di atas menjadi catatan penting untuk kemajuan Bahasa Indonesia ke depan. Sejarah kelahiran bahasa Indonesia selalu dikaitkan dengan lahirnya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah.

Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa, "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti: Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata.

Namun jauh sebelum diresmikan sebagai bahasa negara dan bahasa nasional, bahasa Indonesia sebenarnya lahir dari sebuah proses transformasi budaya yang berasal dari Melayu. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.

Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur, sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya. Sejarah juga mencatat, bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang pada masa lalu digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran.

Momen hari Sumpah Pemuda 28 Oktober kemarin menempatkan sebuah pengharapan besar bagi munculnya kebanggaan Indonesia dengan bahasanya. Problem terbesar kita dalam tata pergaulan antarwarga selalu pada masalah penggunaan bahasa Indonesia dan rasa bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam tata pergaulan masyarakat. Kita memang patut bangga karena di beberapa negara, mereka tidak menggunakan bahasa miliknya sendiri. Contohnya, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan banyak lagi menggunakan bahasa Inggris. Beberapa bangsa juga lebih bangga menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa nasionalnya sendiri, contohnya India dan Hong Kong.

Kebanggaan tersebut tidak saja terletak pada konsep komunikasi, akan tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan yang menggunakan bahasa Indonesia. Kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dalam tata pergaulan di masyarakat seringkali dimaknai dengan cara yang keliru. Kebanggaan tersebut misalnya diwujudkan dengan seremonial perayaan bertema bahasa, ucapan para elite negara yang cenderung sloganistik dan sejumlah himbauan dengan konsep tidak jelas. Alhasil, dalam setiap tahun perayaan bulan bahasa hasilnya tidak pernah benar-benar menyentuh problem terbesar bahasa kita.

Selain itu, wibawa lembaga kebahasaan pun nyaris hanya di atas kertas. Berbagai penyimpangan penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat belum mampu disentuh oleh lembaga seperti ini karena memang etak bertaringf. Bahasa yang digunakan oleh perusahaan swasta, misalnya, cenderung menafikan kaedah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Keharusan menggunakan bahasa asing seolah jadi kebanggaan dan lambang gengsi. Pusat perbelanjaan, toko, rumah makan, dan sejumlah tempat yang selalu dikunjungi orang kerap lebih percaya menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia.

Sementara itu, pada tata pergaulan antarmasyarakat pun, ragam bahasa gaul justeru lebih diperhitungkan. Hal tersebut karena ragam bahasa gaul memiliki media yang efektif seperti radio dan televisi untuk mampu diserap oleh masyarakat, terutama kaum muda Indonesia. Bahkan komunikasi melalui telepon selular dan dunia maya memungkinkan ragam bahasa gaul semakin dikenal.

Problem lain yang tidak kalah penting yakni maraknya penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah. Pendidikan karakter yang selalu didengung-dengungkan seharusnya memberi rasa cinta kepada milik sendiri, seperti halnya bahasa Indonesia.

Akhir-akhir ini, kita kerap dihantui ketakutan jika anak-anak Indonesia tidak mampu menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Padahal penguasaan bahasa asing itu tujuannya adalah meningkatkan daya saing sumber daya manusia di era globalisasi ini. Akan tetapi, seharusnya bahasa tersebut tidak digunakan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan resmi.

Mereka yakin bahwa dengan menguasai bahasa asing maka masa depan pun semakin cerah. Padahal, di Malaysia, sekolah-sekolah kembali mengajarkan bahasa Melayu. Di Jepang, penggunaan bahasa Jepang tetap yang utama dan Negara Matahari Terbit ini nyatanya tetap diperhitungkan di dunia internasional.

Usia bahasa Indonesia telah mencapai 83 tahun. Setiap Oktober pemerintah telah menetapkan sebagai Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Sumber : http://www.analisadaily.com

ASAL MULA KATA HANTU KUNTILANAK


Menurut bahasa Melayu: puntianak, pontianak adalah hantu yang dipercaya berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia atau wanita yang meninggal karena melahirkan dan anak tersebut belum sempat lahir. Nama "kuntilanak" atau "pontianak" ini kemungkinan besar berasal dari gabungan kata dari"bunting"(hamil) dan "anak".
Kota Pontianak mendapat namanya karena konon Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Pontianak, diganggu hantu ini ketika akan menentukan tempat pendirian istana.
 
Didalam cerita rakyat Melayu, sosok kuntilanak digambarkan dalam bentuk wanita cantik. Kuntilanak digambarkan senang meneror penduduk kampung untuk menuntut balas. Kuntilanak sewaktu muncul selalu diiringi harum bunga kemboja. Konon laki-laki yang tidak berhati-hati bisa dibunuh sesudah kuntilanak berubah wujud menjadi penghisap darah. Kuntilanak dikatakan sering berubah sebagai wanita cantik yang berjalan seorang diri dijalan yang sunyi. Oleh karena itu, cerita ini kemungkinan bertujuan menghindari golongan wanita daripada diganggu oleh pemuda-pemuda yang takut akan Kuntilanak ketika berjalan seorang diri di jalan yang sunyi.

Agak berbeda dengan gambaran menurut tradisi Melayu, kuntilanak menurut tradisi Sunda tidak memiliki lubang di punggung dan hanya mengganggu dengan penampakan saja. Jenis yang memiliki lubang di punggung sebagaimana deskripsi di atas disebut sundel bolong. Kuntilanak konon juga menyukai pohon tertentu sebagai tempat "bersemayam".

Berdasarkan kepercayaan dan tradisi masyarakat Jawa, kuntilanak tidak akan mengganggu wanita hamil bila wanita tersebut selalu membawa paku, pisau, dan gunting bila bepergian ke mana saja. Hal ini menyebabkan seringnya ditemui kebiasaan meletakkan gunting, jarum dan pisau di dekat tempat tidur bayi.

Menurut kepercayaan masyarakat Melayu, benda tajam seperti paku bisa menangkal serangan kuntilanak. Ketika kuntilanak menyerang, paku ditancapkan di lubang yang ada di belakang leher kuntilanak. Sementara dalam kepercayaan masyarakat Indonesia lainnya, lokasi untuk menancapkan paku bisa bergeser ke bagian atas ubun-ubun kuntilanak.

Kepercayaan akan adanya kuntilanak atau sundel bolong sangat sering dijadikan sebagai bahan urban legend serta sinema. Berikut ini adalah beberapa nama  film yang dibuat dengan inspirasi dari hantu kuntilanak:

* Film Indonesia
- Terawangan Casablanca (Kuntilanak Merah) (2007) (Indika Entertainment)
- Kuntilanak (2006) karya Rizal Mantovani
- Kuntilanak (1974); dibintangi dan disutradarai oleh Ratno Timoer)
- Kuntilanak (1962), dibintangi oleh Ateng
- Sundel Bolong, dibintangi oleh Suzanna
- Kuntilanak Kamar Mayat (2009)
- Kuntilanak Beranak (2009)
- Paku Kuntilanak (2009)

Sumber: http://www.indospiritual.com

ASAL USUL BAKSO

  Bakso adalah jenis seperti bola daging yang sangat lazim dalam masakan Indonesia. Bakso pada umumnya dibuat dari campuran daging sapi giling dan tepung tapioka, tetapi ada juga loh baso yang dibuat dari daging ayam, ikan, atau udang. Dalam penyajiannya, bakso umumnya disajikan panas-panas dengan kuah kaldu sapi bening, dicampur mie bihun, toge, tahu, terkadang telur, ditaburi bawang goreng dan seledri.
Sekarang banyak sekali bakso di tawarkan dalam bentuk makanan beku yang dijual di pasaran  dan mall-mall. Bakso ini pun dapat juga dijadikan pelengkap jenis makanan lain seperti mie goreng, nasi goreng, atau cap cai dll. 

Bakso memiliki akar dari seni kuliner Tionghoa Indonesia hal ini ditunjukkan dari istilah Bakso berasal dari kata Bak-So, dalam Bahasa Hokkien yang secara harfiah berarti Bak 'daging babi giling' sedangkan So `makanan` . Karena kebanyakan penduduk Indonesia adalah muslim, maka bakso lebih umum terbuat dari daging halal seperti daging sapi, ikan, atau ayam.

Seiring berkembangnya waktu demi waktu, nama bakso menjadi lebih dikenal dengan 'daging giling' saja. Kini, kebanyakan penjual bakso adalah orang Jawa dari khususnya orang Malang. Tempat yang terkenal sebagai pusat Bakso adalah Solo dan Malang yang disebut Bakso Malang.

Macam-macam Jenis Bakso Di Indonesia Antara Lain:
Ø  Bakso bola tenis atau bakso telur
Ø  Bakso gepeng
Ø  Bakso ikan
Ø  Bakso Malang
Ø  Bakso keju
Ø  Bakso udang
Ø  Bakso Bakar
Sumber:  http://www.indonesiasik.com